Home › Artikel › Luka Lama Berlarut, Pengertian Pemotongan GU Jadi Setoran
Luka Lama Berlarut, Pengertian Pemotongan GU Jadi Setoran

Ilustrasi
OPINI, Tabloi Diksi - Praktik pemotongan dana Ganti Uang (GU) di berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) merupakan fenomena yang terus berulang dalam birokrasi kita. Alih-alih digunakan sepenuhnya untuk kebutuhan operasional instansi, dana ini kerap kali dipangkas dan disalurkan ke luar jalur formal. Dalam banyak kasus, pemotongan ini bukan insiden terselubung semata, melainkan bagian dari pola sistemik yang menjadikan kepala daerah sebagai pusat distribusi “setoran”.
Ini adalah rahasia umum dalam tubuh birokrasi daerah. GU yang seharusnya bersifat administratif dan teknis, berubah menjadi celah empuk untuk kepentingan non-legal. Polanya jelas: setiap kali dana GU cair, sebagian dipotong dan bukan untuk efisiensi anggaran, melainkan untuk memenuhi kewajiban tak tertulis kepada atasan. Semacam “upeti modern” yang menjauhkan esensi pelayanan publik.
-
Parahnya, praktik ini tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh dalam ekosistem kekuasaan yang lebih luas, di mana uang menjadi alat pelindung dari hukum. Sejumlah pejabat yang terjerat kasus korupsi justru tidak langsung mendapat sanksi tegas. Sebaliknya, mereka berubah fungsi menjadi sumber uang segar bagi oknum aparat penegak hukum (APH). Inilah ironi terbesar dalam sistem kita: koruptor tidak lagi sekadar pelanggar hukum, tapi bisa menjelma menjadi mitra transaksional bagi pihak yang seharusnya menindak mereka.
Ketika hukum bisa “dibelokkan” dengan uang, maka keadilan hanya menjadi formalitas. Ini menjelaskan mengapa banyak kasus korupsi besar mandek di tengah jalan, dan kenapa penindakan cenderung tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kepala daerah, yang seharusnya menjadi teladan integritas, justru berada di tengah pusaran praktik ini bukan sebagai korban, tetapi sebagai bagian dari aktor utama.
-
Tak sedikit yang berpendapat bahwa para pelaku korupsi seharusnya diberi efek jera dengan hukuman berat. Namun bagaimana mungkin efek jera bisa hadir jika proses hukum itu sendiri dipenuhi dengan kompromi dan tawar-menawar? Jika aparat hukum dapat ‘berdamai’ dengan pelaku korupsi demi keuntungan pribadi, maka negara ini sedang melegalkan kehancurannya sendiri.
Harapan akan pemerintahan yang bersih menjadi kian samar jika praktik seperti ini terus dibiarkan. Satu-satunya jalan adalah perombakan serius, bukan hanya pada tataran teknis birokrasi, tetapi juga pada sistem pengawasan dan penegakan hukum. Tanpa itu, kita hanya akan berputar-putar dalam lingkaran setoran, suap, dan manipulasi, sementara rakyat tetap menanggung dampaknya.
-
Komentar Via Facebook :